Sunday, 28 May 2023

KOLEKSI TANA MALAI ASLI SUKU DAYAK KALIMANTAN - SOLD OUT !

 . 
TERJUAL !






HARGA : SOLD OUT !

Borongan silakan chat

Ex penyang tua

======================


Legenda ini berasal dari sebuah kampung bernama Nyaling di Tumbang Topus, Kecamatan Ut Murung, Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. 
Kisah tentang asal usul Tana Malai Tolung Lingu (Mura) berawal dari suatu konsepsi masyarakat tentang adanya tanah kayangan atau Danum Songiang. 
Konon di sana pernah hidup dua orang perempuan yang sangat cantik yang bernama Bura dan Santaki. 
Suatu hari kedua perempuan ini turun ke dunia (Danum Kolunon) untuk mengamati keadaan dunia yang ternyata masih banyak tempat yang sepi dan tak ada penghuninya. Mereka bersedih karena kondisi ini dan memutuskan kembali ke kayangan. Sepanjang hari Bura dan Sentaki merenungkan apa yang harus mereka perbuat, supaya tidak ada lagi tempat sepi dan tak berpenghuni di dunia. 
Lalu mereka memutuskan untuk menurunkan tana malai tolung lingu ke dunia. Tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu adalah benda keramat milik manusia yang ada di tanah kayangan. Tana malai atau petak malai adalah tanah yang bertahun-tahun dikumpulkan oleh burung elang dari seluruh penjuru alam di mana ia pernah singgah. Dikatakan keramat karena tanah yang semula menempel atau melekat pada kaki burung elang itu akhirnya menumpuk dan dijadikan sarang. Tana malai itu berbau harum dan berwarna kuning keemasan, serta mempunyai kekuatan mistik yang bisa memikat siapapun yang pernah menyentuh tanah tersebut. Demikian pula yang terjadi dengan burung elang. Sejauh apapun ia pergi, tetap akan kembali ke sarangnya karena pengaruh dari tana malai yang keramat itu. Sedangkan tolung lingu atau buluh marindu adalah bambu. Keberadaan bambu ini terkait dengan cara pengambilan tana malai atau petak malai, kelak ketika tana malai atau petak malai ditemukan oleh manusia untuk pertama kalinya. Tempat diturunkannya tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu di dunia adalah di Gunung Pancung Ampang (sebelah hulu Barito Selatan) dan Gunung Bondang (sebelah hulu Sungai Laung). Sekitar tahun 1720 dan 1721, tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu ditemukan oleh Nyahu bin Sangen dan Conihan. Keduanya merupakan penduduk yang berdiam di daerah pedalaman wilayah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu, tepatnya dari sebuah kampung yang didiami oleh suku Siang Kono di Desa Tumbang Topus (sekarang masuk Kecamatan Ut Murung). Penemuan tana malai tolung lingu oleh Nyahu bin Sangen dan Conihan terjadi di tengah perjalanan mereka mencari sarang burung ke daerah Liang Gunung Pancung Ampang (Cahai Uhai). Daerah ini berada di antara hulu Sungai Karamu, Sungai Busang dan Sungai Chan (anak Sungai Mahakam). Nyahu bin Sangen dan Conihan menemukan tana malai di dinding batu yang terdapat di lereng Gunung Pancung Ampang. Tana malai ini berhasil diambil setelah kedua orang tersebut menemukan tolung lingu atau bambu. Tolung lingu ini harus mereka sambung-sambung terlebih dahulu hingga menjadi panjang. Hal ini mereka lakukan karena letak tana malai sangat tinggi dan tidak biss disentuh oleh sembarang orang. Konon mereka harus masuk ke dalam tolung lingu itu melalui lubang yang ada pada ruang bambu. Setelah menemukan tana malai tolung lingu, Nyahu dan Conihan pun kembali ke kampung tempat mereka berasal. Kedua orang ini segera menceritakan perihal penemuan mereka tersebut kepada tua-tua adat dan penduduk lainnya. Tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu lantas dijadikan sebagai pemikat atau penakluk hati (songkolasan-songkolimo) bagi suku Siang Kono. Di tahun 1721, terjadi peristiwa penemuan tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu oleh Nyaman dan Talawang Amai Meteh. Keduanya berasal dari suku Siang Murung yang hidup di kampung Taluu Nyaling. Tana malai tolung lingu ditemukan di Gunung Bondang (sebelah hulu Sungai Laung), sebuah gunung tertinggi yang ada di daerah tersebut. Mulanya Nyaman dan Talawang Amai Meteh bermaksud untuk balampah atau bersemedi guna mencari alamat/petunjuk agar memperoleh kesuksesan hidup. Setelah berada di puncak gunung, mereka menemukan tolung lingu yang menuntun mereka untuk menemukan tana malai. Penemuan itu membuat mereka membatalkan keinginan bersemedi dan memutuskan kembali ke kampung. Sesampai di kampung, kedua orang
 itu menceritakan tentang penemuan tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu tersebut kepada tua-tua adat dan penduduk kampung mereka. Sama seperti suku Siang Kono, tana malai tolung lingu atau petak malai buluh marindu yang ditemukan oleh Nyaman dan Talawang Amai Meteh pun dijadikan sebagai pemikat atau penakluk hati bagi suku Siang Murung.



No comments:

Post a Comment